VONIS MENGABAIKAN PRINSIP PEMBUKTIAN: PARA TERDAKWA KASUS KERUSUHAN JAYAPURA MENYATAKAN BANDING

Advokat Sugeng Teguh Santoso
UNGKAP86.com, Jayapura - Pengadilan Negeri Jayapura telah menjatuhkan vonis terhadap para terdakwa dalam kasus kerusuhan Jayapura, dengan vonis rata-rata selama 6 (enam) bulan pidana penjara. Atas putusan itu, para terdakwa yang rata-rata adalah anak muda, menyatakan menempuh upaya hukum banding terhadap putusan-putusan tersebut dengan alasan, perbuatan pidana yang dituduhkan kepada masing-masing terdakwa sama sekali tidak pernah dilakukannya. Fakta persidangan mengungkap bahwa mereka tidak melakukan perbuatan pidana secara bersama melakukan pengrusakan atau menyebabkan kebakaran terhadap barang atau benda (pasal 170 ayat 1 jo pasal 64 KUHP. Bahkan ada Terdakwa yang sama sekali tidak ikut serta dalam aksi unjuk rasa damai anti rasisme tersebut. Dari 18 (delapan belas) perkara yang didampingi oleh Tim Advokat untuk Untuk Orang Asli Papua sampai putusan akhir, terdapat 11 (sebelas) perkara dengan jumlah terdakwa sebanyak 17 (tujuh belas) orang menyatakan banding atas putusan PN yang dijatuhkan kepadanya demi untuk mencari kebenaran dan keadilan.

Tim Advokat menilai, bahwa putusan pengadilan, mengesampingkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dan tidak berdasarkan minimum 2 (dua) alat bukti yang sah sesuai pasal 183 KUHAP, yang mengatur: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Pembuktian yang demikian dinamakan sebagai pembuktian  negatif (negatif wettelijke bewijstheorie), yang menggabungkan unsur keyakinan hakim dengan unsur-unsur pembuktian menurut undang-undang.
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, pembuktian penuntut umum atas dakwaan sangat lemah. Seperti contoh dalam Perkara No. 572/Pid.B/2019/PN. Jap., atas nama terdakwa: 1) Ronald Wandik, 2) Yusuf Marthen Moai, 3) Jhony Weya, 4) Persiapan Kogoya, 5) Mikha Asso. Penuntut Umum hanya mengajukan 3 (tiga) orang saksi untuk Terdakwa Persiapan Kogoya, sementara untuk terdakwa lainnya, penuntut umum tidak mengajukan satupun saksi yang menyatakan melihat, mendengar dan mengetahui bahwa para terdakwa melakukan perusakan pada saat aksi unjuk rasa damai menentang rasisme terhadap Orang Asli Papua pada 29 Agustus 2019.

Di sisi lain, saksi-saksi yang diajukan oleh penuntut umum, termasuk Saksi yang berlatar belakang Polisi yang keterangannya menyimpulkan bahwa para Terdakwa telah melakukan perusakan pada saat aksi unjuk rasa damai, hanya berdasarkan ciri-ciri umum: rambut keriting, kulit hitam. Padahal, massa yang memiliki ciri yang sama pada waktu kejadian aksi unjuk rasa sangatlah banyak. Penuntut Umum juga tidak menjadikan CCTV sebagai barang bukti meskipun disebut-sebut dalam keterangan para saksi.

Dalam persidangan terungkap fakta bahwa proses penyidikan dan investigasi yang dialami masing-masing Terdakwa sarat dengan intimidasi dan pemaksaan pengakuan terhadap Tersangka yang bertentangan dengan KUHAP dan Undang-Undang HAM (1999). Sedangkan pengakuan masing-masing Terdakwa dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersebut, telah dinyatakan dicabut di muka persidangan karena diberikan di bawah tekanan, paksaan dan kekerasan. Pemeriksaan dengan model inquisitoir terhadap para terdakwa terungkap dalam persidangan, termasuk bahwa penetapan status para terdakwa di tingkat penyidikan dilakukan atas perintah pimpinan untuk menetapkan status tersangka dalam waktu 1 x 24 jam.

Adapun perkara-perkara yang mengajukan banding, meliputi:

Pertama, Perkara No. 550/Pid.B/2019/PN. Jap.;
Kedua, Perkara No. 551/Pid.B/2019/PN. Jap.;
Ketiga,  Perkara No. 564/Pid.B/2019/PN. Jap.;
Keempat, Perkara No. 565/Pid.B/2019/PN. Jap.;
Kelima, Perkara No. 566/Pid.B/2019/PN. Jap.;
Keenam, Perkara No. 568/Pid.B/2019/PN. Jap.;
Ketujuh, Perkara No. 570/Pid.B/2019/PN. Jap.;
Kedelapan, Perkara No. 571/Pid.B/2019/PN. Jap.;
Kesembilan, Perkara No. 572/Pid.B/2019/PN. Jap.;
Kesepuluh,  Perkara No. 574/Pid.B/2019/PN. Jap.;
Kesebelas, Perkara No. 583/Pid.B/2019/PN. Jap.;

Berdasarkan hal-hal tersebut, Tim Advokat untuk OAP yang terdiri dari Sugeng Teguh Santoso , Frederika Korain,   Rita Serena Kolibonsomenyatakan sikap sebagai berikut:

1. Mengingat proses hukum masih berjalan dan belum mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka para terdakwa belum dapat dikatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang dituduhkan kepada mereka;

2. Memohon kepada Pengadilan Tinggi Jayapura, menerima dan mengabulkan permohonan banding para terdakwa dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jayapura serta membebaskan para terdakwa dari semua tuntutan hukum;

3. Memohon kepada Majelis Hakim pada Pengadilan Tinggi Jayapura yang memeriksa perkara ini, agar memeriksa kembali secara obyektif fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan menjatuhkan putusan sesuai dengan hukum yang berlaku, termasuk mempertimbangkan dan mengoreksi kejanggalan-kejanggalan dalam proses pemeriksaan para terdakwa, terutama sejak pada tahap penyidikan, yang kami nilai sarat dengan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia karena stigma dan stereotip terhadap para terdakwa sebagai Orang Asli Papua;

4. Meminta Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI agar melakukan pengawasan yang efektif dalam proses pemeriksaan perkara banding para terdakwa dan mencegah adanya intervensi kekuasaan pihak lain yang mempengaruhi kemerdekaan hakim yang dapat merusak wibawa dan citra pengadilan sebagai tempat untuk mencari keadilan;
 
Siaran Pers Tim Advokat untuk Orang Asli Papua diterima Reformatanews.com melalui Sugeng Teguh Santoso dari Jayapura (28/02/2020).




0 Response to "VONIS MENGABAIKAN PRINSIP PEMBUKTIAN: PARA TERDAKWA KASUS KERUSUHAN JAYAPURA MENYATAKAN BANDING"

Posting Komentar